Sebenarnya surat ini ingin kukirimkan kepadamu wahai engkau
yang mampu melumpuhkan hatiku. Surat ini ingin kuselipkan dalam satu
kehidupanmu, namun aku hanya lelaki yang tak memiliki keberanian dalam
mengungkapkan semua percikan-percikan rasa yang terjadi dalam hatiku. Aku hanya
dia yang engkau anggap tidak lebih,
aku hanya merasa seperti itu.
aku hanya merasa seperti itu.
Assalamu’alaikum
wahai engkau yang melumpuhkan hatiku
Tak
terasa dua tahun aku memendam rasa itu, rasa yang ingin segera kuselesaikan
tanpa harus mengorbankan perasaan aku atau dirimu. Seperti yang engkau tahu,
aku selalu berusaha menjauh darimu, aku selalu berusaha tidak acuh padamu. Saat
di depanmu, aku ingin tetap berlaku dengan normal walau perlu usaha untuk
mencapainya.
Takukah
engkau wahai yang mampu melumpuhkan hatiku? Entah mengapa aku dengan mudah
berkata “Cinta” kepada mereka yang tak
kucintai namun kepadamu, lisan ini seolah terkunci. Dan aku merasa beruntung
untuk tidak pernah berkata bahwa aku mencintaimu, walau aku teramat sakit saat
mengetahui bahwa aku bukanlah mereka yang engkau cintai walaupun itu hanya
sebagian dari prasangkaku. Jika boleh aku beralasan, mungkin aku cuma takut
engkau akan menjadi “ illah”
bagiku, karena itu aku mencoba untuk mengurung rasa itu jauh ke dalam,
mendorong lagi, dan lagi hingga yang terjadi adalah tolakan-tolakan dan
lonjakan yang membuatku semakin tidak mengerti.
Sakit
hatiku memang saat prasangkaku berbicara bahwa engkau mencintai dia dan tak ada
aku dalam kamus cintamu, sakit memang, sakit terasa dan begitu amat perih.
Namun 1000 kali rasa itu lebih baik saat aku mengerti bahwa senyummu adalah
sesuatu yang berarti bagiku. Ketentramanmu adalah buah cinta yang amat teramat
mendekap hatiku, dan aku mengerti bahwa aku harus mengalah.
Wahai
engkau yang melumpuhkan hatiku, andai aku boleh berdoa kepada Tuhan, mungkin
aku ingin meminta agar Dia membalikkan sang waktu agar aku mampu mengedit
saat-saat pertemuan itu hingga tak ada tatapan pertama itu yang membuat hati
ini terus mengingatmu. Jarang aku memandang wanita, namun satu pandangan saja
mampu meluluhkan bahkan melumpuhkan hati ini. Andai aku buta, tentu itu lebih
baik daripada harus kembali lumpuh seperti ini.
Banyak
lembaran buku yang telah kutelusuri, banyak teman yang telah kumintai pendapat.
Sebahagian mendorongku untuk mengakhiri segala prasangku tentangmu, tentang dia
karena sebahagian prasangka adalah suatu kesalahan, mereka memintaku untuk
membuka tabir lisan ini juga untuk menutup semua rasa prasangkamu terhadapku.
Namun di titik yang lain ada dorongan yang begitu kuat untuk tetap menahan rasa
yang terlalu awal yang telah tertancap dihati ini dan membukanya saat waktu
yang indah yang telah ditentukan itu (andai itu bukan suatu mimpi).
Wahai
engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mungkin aku bukanlah pejantan tangguh
yang siap untuk segera menikah denganmu. Masih banyak sisi lain hidup ini yang
harus ku kelola dan kutata kembali. Juga kamu wahai yang telah melumpuhkan hatiku,
kamu yang dengan halus menolak diriku menurut prasangkaku dengan alasan belum
saatnya memikirkan itu. Sungguh aku tidak ingin menanggung beban ini yang akan
berujung ke sebuah kefatalan kelak jika hati ini tak mampu kutata, juga aku
tidak ingin BERPACARAN denganmu.
Wahai
engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mungkin saat ini hatiku milikmu, namun
tak akan kuberikan setitik pun saat-saat ini karena aku telah bertekad dalam
diriku bahwa saat-saat indahku hanya akan kuberikan kepada BIDADARI-ku. Wahai engkau
yang telah melumpuhkan hatiku, tolong bantu aku untuk meraih bidadari-ku bila
dia bukan dirimu.
Wahai
engkau yang telah melumpuhkan hatiku, tahukah kamu betapa saat-saat inilah yang
paling kutakutkan dalam diriku, jika saja Dia tidak menganugerahi aku dengan
setitik rasa malu, tentu aku telah meminangmu bukan sebagai istriku namun
sebagai kekasihku. Andai rasa malu itu tidak pernah ada, tentu aku tidak
berusaha menjauhimu. Kadang aku bingung, apakah penjauhan ini merupakan jalan
yang terbaik yang berarti harus mengorbankan ukhuwah diantara kita atau harus
mengorbankan iman dan maluku hanya demi hal yang tampak sepele yang demikian
itu.
Aku
yang tidak mengerti diriku…
Ingin
ku meminta kepadamu, sudikah engkau menungguku hingga aku siap dengan tegak
meminangmu dan kau pun siap dengan pinanganku?! Namun wahai yang telah
melumpuhkan hatiku, kadang aku berpikir semua pasti berlalu dan aku merasa
saat-saat ini pun akan segera berlalu, tetapi ada ketakutan dalam diriku bila
aku melupakanmu… aku takut tak akan pernah lagi menemukan dirimu dalam diri
mereka-mereka yang lain.
Wahai
engkau yang telah melumpuhkan hatiku, ijinkan aku menutup surat ini dan biarkan
waktu berbicara tentang takdir antara kita. Mungkin nanti saat dimana mungkin
kau telah menimang cucu-mu dan aku juga demikian, mungkin kita akan saling
tersenyum bersama mengingat kisah kita yang tragis ini. Atau mungkin saat kita
ditakdirkan untuk merajut jalan menuju keindahan sebahagian dari iman, kita
akan tersenyum bersama betapa akhirnya kita berbuka setelah menahan perih rindu
yang begitu mengguncang.
Wahai
engkau yang telah melumpuhkan hatiku, mintalah kepada Tuhan-mu, Tuhan-ku, dan
Tuhan semua manusia akhir yang terbaik terhadap kisah kita. Memintalah
kepada-Nya agar iman yang tipis ini mampu bertahan, memintalah kepada-Nya agar
tetap menetapkan malu ini pada tempatnya.
Wahai
engkau yang sekarang kucintai, semoga hal yang terjadi ini bukanlah sebuah DOSA
0 komentar:
Posting Komentar